Zayd,
Aku tidak pernah melihat pagi yang se-mendung pagi ini.
Angin bertiup lembut sejak dinihari,
mengisi bolongan kosong antara bulan dan pohon-pohon malam.
Seakan-akan bunyi rintik hujan yang belum tiba.
Becak, seperti loceng sebuah bas dan
bau speaker dari surau di selekohan.
Daun jatuh bagai layar sekeping kapal teduh.
Bau laut dan hujan turun perlahan-lahan…
Tapi ada kemarau dalam hatiku!
Tahukah kau perkara yang paling sunyi ketika
musim kemarau adalah sekaki payung yang dilupakan?
Zayd,
Aku telah berkenalan dengannya di sudut sebuah perpustakaan. Dia adalah wanita mulia. Akan abadi sebuah petang yang kusimpan dalam ingatan,
ketika dia melintas dan membahagi senyum ke dalam tiap jiwa yang sempat memasang mata menjadi sebuah taswir. Tidak ada satu rijal yang akan bisa menemukan definisi senyum itu dalam apa-apa kamus. Tak akan dapat kucetak bunyi tapak kakinya dalam apa-apa bahasa.
Dia seperti rahmat yang mempunyai mata dan telinga, kerudung dan hidung. Dia adalah kepala sebuah erti, dia adalah definisi yang memiliki perkataannya sendiri.
Tapi di corazón, waktu berdetak seperti Aran – disana Kami sempat mencipta puluhan kenangan menjadi sebuah kerusi, sambil tertegun bersandar
menunggu masa menjadi dewasa.
Mungkinkah hari ini adalah hari yang kutakuti, Zayd? Ketika jejaran masa berkeputusan menjadi tua sebelum sempat dewasa – lalu memisahkan sepasang
jiwa menjadi dua manusia yang serba biasa.