Malam di akhir Juni yang dingin,
langit yang sabar akhirnya menangis.
Aku kira kau telahpun abadi dalam keabadian
sedang aku masih dibaluti dingin yang tragis.
Aku membayangkan tubuhmu di sisi kananku,
memandu mobil kelabu.
Harum tubuhmu, kupinjam.
Mata kupejam erat.
Ada yang masih tersisa,
Siangku masih mencandu
pada lekuk indah wajahmu.
Malamku masih erat memeluk
potret senyumanmu.
Kita ini sebuah puisi di akhir Juni, sayang.
Sebaik susunan aksara yang paling ingin dimengerti,
Bukankah harus diselang spasi tabah dan sabar?
Bukankah harus dinahdomkan ritma cinta yang sama?
Malam di akhir Juni yang dingin,
Aku biarkan diafragma menyesak.
Aku biarkan hujan mengetuk atap kerinduan.
Dan titisannya menjelma menjadi airmata.
Selesai tangis ini,
Ajarkan aku mencintai dengan lebih tenang.
Setenang zikir-zikir yang ku ratib, Tuhan.
No comments:
Post a Comment