25/06/2015

Membiarkan Diri Dibiasakan Musnah

Gayutan ceri di pohon itu kita renung.
Merahnya aduh, bikin hati jadi berahi.
Camar berkicau meraikan atmosfera cinta yang kita cipta.
Ada kupu-kupu berdondang sayang
saat kaupagut lembut bibirku.
Manis dan ranum seperti ceri itu.

Pandanganmu tajam dan misteri
umpama bilahan belati, menikam tepat ke dalam mataku.
Kutenggelam disedut lohong hitam.
Seluruh anggotaku lumpuh
dijampi serapah renungan kamu.
Dicengkam kedinginan setelah seharian disengat mentari.

Hembusan nafasmu panas mendesah, menampar pipiku
umpama api yang marak menjulang, menjilat tiap inci kulitku.
Bibir jiwaku memekik, membujuk rayu namamu.
Degup jantung menghentak dinding dada - sebu.

Sabungan mata kita berbicara dalam jargon rekaan kita.
Kerana kita ini manusia yang sudah terbiasa
membiarkan diri musnah dalam tornado cinta.

19/06/2015

Sang Pemimpi

Untuk sekian kalinya, mimpi itu kegemaran baru aku
Aku masih  mahu pejam mata
Untuk mimpi paling lama

Aku mahu jadi sang pemimpi, kerna rindu aku pada kau cuma hidup saat lena
Dan izinkan aku pejamkan mata saat pagi mula menjengah
Ketahuilah bahwa tika saat itu aku terlalu rindu pada anak mata, pada canda bersahaja, pada senyum polos, pada segala.

Hariku mungkin sendiri dan masa buatkan aku terus berfikir
Jiwaku mengelinjang tak sabar tunggu malam
Aku mahu kita petik bintang berdua

17/06/2015

Neng, Kita Adalah Kunang-Kunang Fiksi Yang Meneka-Neka Lukisan


Bulan makin memutih di ubun malam
kunang-kunang menjadi raut garis
apakah sedang kau nantikan, neng?
Waktu adalah laut yang tak terduga.

Masihkah kau membuka kitab itu?
Surah-surahnya adalah fiksi semata
tanda bacanya juga penipuan penulis.
Bakarkan saja bersama sampah semalam.

Aku kira kau tak lagi menangis.
Bukankah kita cuma meneka-neka?
Silang kata itu terlalu bermacam
dan menipu kita yang teruja.

Maafkan aku, aku tak lagi melukis
kerna warnaku dicuri orang. Berus
juga sudah patah. Mungkinkah ada
pelukis tak melukis kerana silam?

15/06/2015

Malam di akhir Juni yang dingin

Malam di akhir Juni yang dingin,
langit yang sabar akhirnya menangis.
Aku kira kau telahpun abadi dalam keabadian
sedang aku masih dibaluti dingin yang tragis.

Aku membayangkan tubuhmu di sisi kananku,
memandu mobil kelabu.
Harum tubuhmu, kupinjam.
Mata kupejam erat.

Ada yang masih tersisa,
Siangku masih mencandu
pada lekuk indah wajahmu.
Malamku masih erat memeluk
potret senyumanmu.

Kita ini sebuah puisi di akhir Juni, sayang.
Sebaik susunan aksara yang paling ingin dimengerti,
Bukankah harus diselang spasi tabah dan sabar?
Bukankah harus dinahdomkan ritma cinta yang sama?

Malam di akhir Juni yang dingin,
Aku biarkan diafragma menyesak.
Aku biarkan hujan mengetuk atap kerinduan.
Dan titisannya menjelma menjadi airmata.
Selesai tangis ini,
Ajarkan aku mencintai dengan lebih tenang.
Setenang zikir-zikir yang ku ratib, Tuhan.



13/06/2015

Musikus Sepi di Kota Cinta

Kita sedang selesa bernyanyi dengan
embun rintik di wilayah anggrek, sebelum
klakson angin sebuah kapal laut
membunuh keamanan camar. Suatu
kesepian datang menepuk bahu kita dan
senar jantung kita bergesek dengan miris sekali.

Akalku kegelisahan di ayunannya;
apakah akan ada angin sama berhembus
tika kota ini tak didatangimu lagi?
Ataukah lagu kita ‘kan bernyanyi
di persinggahan barumu?

11/06/2015

Bunga Api Pop Dalam Hati

Bagai bunga api pop,
melihat matamu,
mendingin sengat matahari,
menghangat hujan malam,
dunia terasa mengayun.

Bagai bunga api pop,
melihat senyummu,
menenang jiwaku,
melenyap segala tekanan,
mendamai setiap kesusahan.

Bagai bunga api pop,
rapian rambutmu,
mengukir senyumanku,
Bahagia ini, kini infiniti.

Aku masih keterapungan.

NoraZen
11 JUN 2015

09/06/2015

Sejumlah Kata-kata Dan Ratapan Biola



Angka-angka di jam dinding itu lebih tahu cara untuk maju. Sejumlah ingatan tertanda di waktu-waktu tertentu. Kita akan lupa namun di waktu-waktu tertentu, musim seakan berjalan lebih perlahan. Ingatan yang sedayanya dihindari tiba-tiba hinggap di jendela dingin yang sudah lama bisu. Kita selalu ingin membuka jendela itu seluasnya atas alasan ingin menikmati angin di musim ini. Tak ada yang lebih dingin dari musim yang pudar dan buntu. Seperti pohon-pohon yang tetap berdiri dalam dingin yang menghentam ini, seperti itu seharusnya orang-orang yang terluka belajar menjadi teguh.

Angka-angka di jam dinding sudah tahu tentang hari dan waktu yang mendatang. Seperti mana bunga-bunga akan tumbuh kembali di musim yang berkilau emas itu nanti, seperti itu kita menanggalkan kertas kalender yang telah ditandai dengan balada yang terluka; hari demi hari.


Kita pun tiba akhirnya di musim yang berkilau itu. Seperti nafas yang pernah meringkuk dalam koma, sejumlah ingatan yang pudar mencatat kelibatnya di jendela. Kenangan, seperti seorang kekasih yang setia, tidak akan pantas melepaskan. Ia menyentuh bekas luka, menciumnya dan berkata, "Aku pernah ada, dan punya alasan untuk akhirnya tiada." Orang-orang terluka, seperti kita, akan selalu tahu bagaimana caranya untuk menghadapi sejumlah kenangan yang bebas di udara. Kerana kita sudah begitu akrab dengan takungan airmata di telapak tangan yang ditinggalkan ini.


Karl Agan
Jun 2015

07/06/2015

Kau dan Kelewatanku

Pada setiap kau didekatku
adalah debar jantung yang tak terhitung
membekukan kaki dan hujung jari.

Pada setiap pertemuan anak mata
adalah harapan seperti purnama
binar yang terang mengambang abadi.

Pada setiap kata-kata sederhana
adalah kotaraya dipenuhi cinta
sempurna mimpiku di dalamnya.

Percayakah bahawa
Doa-doaku hari itu telah begitu hampir kepadamu?
Kemudian dihalang Tuhan,
katanya ada doa
yang telah terlebih dahulu memelukmu.

05/06/2015

Lewat Musim Semi


Air mata di musim semi
jatuh pada kelopak bunga
meresap lalu di tangkai rasa
dingin disambut belai hawa
ketika mata masih belum terbuka

Tunas di musim semi
separuh kuncup separuh mekar
dilewat unggas-unggas
separuh mabuk separuh liar
melakar detik keliru mungkin indah

Musim semi terakhir
embun melabuhkan tangis bongsu
helai kertas, debu dan tanah ingkar; kering
sayang musim-musim sekarang
terus kemarau tanpa pesan.

03/06/2015

Pohon Kenangan

Di bawah pohon samanea
kaumelabuhkan punggung
pada akar-akar tua.

Dedaun samanea yang lebat
membuatkan cahya matari senja
begitu kecewa untuk menjamah kulitmu.

Kau ambil sebilah belati dalam simpananku;
Kau ukirkan nama-nama
pada tubuh kasar samanea.

Lantas kaumengucupku di pipi
hingga lembut bibirmu
membuatku benar-benar cair.

Di bawah pohon samanea yang rendang
adalah singgahan pertama kita
;sebelum camar dan pelayar
mengenal malam.